Sabtu, 26 Maret 2016

Sebuah Tulisan Agar Kamu Menulis

“Orang boleh pintar setinggi langit. Tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah” begitu ujar Pramoedya Ananta Toer, dalam bukunya Rumah Kaca.
Apa yang membuat manusia bisa abadi? Apa yang membuat nama dan gagasan dikenang melampaui umur seseorang? Apa yang membuat jasad mati tetap mampu berbagi pemikirannya? Tulisan.
Menulis adalah cara untuk memahami kehidupan. Buah dari proses pemikiran akan keresahan-keresahan hidup. Jalan untuk memaknai keberadaan diri. Mereka yang menulis, kerap lebih mampu menyelesaikan masalah. Mereka yang menulis, kerap kali lebih tangguh berjuang.
Maka lihat betapa banyak tulisan yang melahirkan orang-orang hebat. Begitu pula sebaliknya, betapa banyak tokoh besar melahirkan karya monumental nan abadi melalui proses menulis. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Betapa banyak tulisan yang mampu mengubah sejarah? Betapa banyak orang mampu merubah opininya setelah membaca tulisan? Betapa banyak tulisan yang mampu menjadi peluru perlawanan menghadapi penguasa rezim otoritarianisme?
Tulisan mungkin hanya barisan kata. Tapi ia bisa mempengaruhi jutaan manusia. Mereka yang menulis, mereka yang berkuasa. Mereka yang menulis, mereka yang memimpin. Menulis adalah pekerjaan orang-orang besar.
Kemampuan intelektual seseorang terlihat dari kemampuan menulisnya. Karenanya seseorang disyaratkan mampu menulis skripsi untuk memperoleh gelar sarjana. Mampu menulis tesis untuk meraih magister. Dan mampu menulis disertasi untuk menjadi doktor.
Kebaikan sebuah tulisan tidak berhenti sampai di situ. Tulisan-tulisan yang baik, ketika penulisnya wafat, pahalanya akan terus mengalir. Bak pepatah, verba volant scripta manen. Lisan sementara, sedang tulisan adalah abadi.
Tidak ada kata terlambat untuk memulai menulis. Sebab menulis bukanlah bakat yang muncul bersamaan dengan turunnya seseorang ke dunia. Ia bukan bawaan lahir. Melainkan suatu hasil pembelajaran yang memerlukan proses dan waktu. Be patient, cause something good needs time.
Kalau kamu sudah pandai menulis, jangan berhenti berproses. Tingkatkan produktivitas untuk kian meng-upgrade kemampuanmu. Tetaplah menulis. Kalau kamu belum cukup mahir membuat tulisan yang berat, mulailah membuat tulisan-tulisan sederhana tentang permasalahan pribadi. Semisal tulisan ini. Atau bisa juga tentang keresahan yang kamu alami. Lalu suatu saat coba pula untuk menulis tentang permasalahan bangsa.
Sebarkan tulisan itu kepada kawan-kawan terdekat. Lebih baik lagi kalau mempublikasikannya kepada umum. Bukan maksud mencari apresiasi. Dicaci atau dipuji, itu bonus. Yang penting kamu telah berhasil menyampaikan idemu dan memberikan kesempatan orang lain untuk mengkoreksi tulisanmu seandainya salah. Intinya, mari belajar menulis!

Tuban, 31 Desember 2015
Afkar Tashwirul

My Dearest Kastrat

Good night my ex-team,
Kata orang, segala sesuatu akan terasa begitu berharga setelah kehilangan. Agaknya, gue nggak setuju. Gue selalu percaya kalau Kastrat UI 15 itu berharga, bahkan sebelum perpisahan itu ada.
Sebelum tidur malam ini, sekali lagi gue scroll up pesan temen-temen di grup “Kastrat digoyang” selama beberapa hari belakangan. Gue baca banyak banget kesenangan dan keceriaan di grup kecil beranggotakan 13 akun, yang dulunya pernah kita satu persatu ngambek trus left sebelum akhirnya diinvite kembali. Lucu. Belum lagi, stock foto tentang Kastrat UI ‘15 yang nggak ada bosennya buat dijadiin wallpaper; upload ke berbagai sosmed; atau sekedar diamati sambil sesekali senyum atau bahkan ketawa sendiri. What a nice journey.
Gue inget masa-masa itu lagi. Inget setahun kemarin. Ketika pertama kali wawancara sama Kak Bagas, Kak Mujab, dan ada Kak Aufar yang sesekali berkomentar. Inget pertama ketemu Tari, Citra, dan Surya di Science Park pagi-pagi. Inget pertama ketemu Shiddiq dan Ilham di serambi MUI sebelum sholat Jumat. Dan inget pertama kali kumpul lengkap, Welcoming Staff yang juga kali pertama ketemu El, Zha, dan Naufal. BEM UI itu organisasi pertama gue di kampus, yang literally gue berangkat dari nol, bukan siapa-siapa, dan nggak punya siapa-siapa.
Setahun kemudian, gue cukup percaya diri untuk melakukan banyak hal. Gue cukup percaya diri mempublikasikan tulisan kemanapun. Percaya diri berbicara ini itu di depan temen-temen. Punya banyak jaringan dan nama gue bukan lagi asing. Setidaknya, gue dapet pengakuan. Semua itu gue dapet selama belajar di Kastrat BEM UI 2015.
Dan sekarang, di semester ini, jadi semester yang berbeda. Semester ini semuanya serba baru. Gue ga tau kalian semua sekarang pada maen dimana, pada rapat dimana, pada bercanda dimana, pada istirahat dimana. Tapi satu hal, dimanapun kalian sekarang, semoga kita tetap kita. Tetep keluarga Kastrat UI yang asyik. Seasyik itu bahkan.
Gue sekarang berpartner sama temen-temen yang lain. Orang-orang yang benar-benar baru buat gue Doakan semoga gue bisa membentuk tim yang juga keren sekeren kalian, dan mengakhirkan petualangan gue di sini nantinya dengan indah. Sejauh ini sih, gue sangat senang dengan orang-orang ini. Tapi sejujurnya gue takut jadi orang yang komparatif. Membanding-bandingkan keasyikan antara bareng mereka dan kalian.
Sungguh, mengingat kalian itu menguatkan. Menyenangkan. Tapi sekaligus membikin sedih. Ternyata perjalanan setahun berakhir secepat itu.
Walau nantinya pada sibuk sama urusan masing-masing, sesekali disempatin lah kumpul-kumpul absurdnya. Kalau lagi kesepian dan stress trus butuh temen makan, jalan, nonton atau apapun, gue si Gabut akan dengan senang hati menerima ajakan itu. Kecewa banget sih kalau pertemanan itu cuman sepanjang periode kepengurusan. Payah anjir.
Makasih banget buat Zha dan Shiddiq yang udah ikut maen ke Dufan. Makasih buat Kak Aufar, Tari, Citra, dan Surya yang udah join karaoke, makan-makan dan farewellnya. Makasih juga buat Kak Mujab, El, Naufal, dan Ilham yang udah gabung di semua rangkaian kegiatan dua hari kemaren.
Gue yakin, di surat kecil kemaren banyak sekali yang belum tersampaikan pada masing-masing. Kertas kecil itu sampe kapanpun nggak akan cukup mampu menampung banyaknya pesan dan kesan bareng kalian. Dan gue cukup yakin itu bukan gue doang. Semuanya masih banyak kata-kata yang pada akhirnya nggak tersampaikan. Kalau masih ada masalah sama gue, gue sangat terbuka buat ngobrol mencari solusinya. Kalau masih ada kekecewaan, gue minta maaf sebesar-besarnya. Tapi inti terpentingnya, walaupun mungkin kata-kata tidak mampu menyampaikan emosi, gue pengen bilang kalo gue sayang banget sama kalian. Thanks.
“Perjalanan-perjalanan besar selalu sulit untuk dilakukan. Tapi lebih sulit lagi untuk merelakan ia berakhir.”
- tashwirul

Depok, 10 Februari 2016
Afkar Tashwirul
si Anak Bawang